Welcome Guest. Sign in or Signup

0 Answers

Review Film OOTD OF THE DESIGNER 2024

Asked by: 3 views Uncategorized

Menilik judulnya, mudah menebak jikalau #OOTD: Outfit of the Designer bakal mendiskusikan seluk-beluk fashion, dan selama sekitar 30 menit pertamanya, begitulah debut penyutradaraan Dimas Anggara ini bergulir. Separuh jam yang menjanjikan banyak hal. Kapan lagi film kita membahas dunia mode?

Mengambil latar Birmingham, terjadilah pertemuan dua mahasiswa Indonesia: Nare (Jihane Almira) yang bercita-cita menjadi desainer, dan Bagas (Rangga Nattra) si fotografer. Sewaktu pakaian-pakaian karya Nare hendak dipasarkan, Bagas bersedia memotret secara cuma-cuma. Tentu keduanya bakal terlibat asmara bukan? Ya, namun tak sesederhana itu.

Mereka berasal dari kelas ekonomi berbeda. Di adegan pembuka, kita melihat Nare yang berasal dari keluarga kaya mendapatkan uang saku bulanan dari sang ayah, meski Bagas si penerima beasiswa mengirim uang ke orang tuanya yang kurang cakap. Bagas malahan senantiasa menolak tawaran Nare untuk mampir ke apartemennya dengan alasan sibuk melakukan tugas.

Separuh jam pertamanya tampil menarik, karena alih-alih sebatas menghadirkan tarik ulur asmara Nare dan Bagas (yang interaksinya senantiasa menarik berkat penampilan alami kedua pemain), alurnya tak lupa menyoroti kehidupan Nare sebagai https://tvfixplace.com/review-terbaru-drama-korea-vincenzo-2024/ perancang busana, dari progresnya memecahkan tugas akhir, sampai keputusan mengadakan peragaan busana di trek bersama tiga temannya sesama orang Indonesia: Luni (Asmara Abigail), Dantie (Jolene Marie), dan Mala (Givina Lukita).

Naskah buatan Indra Bayu, Tassia Mariska, dan Delly Malik Muharyoso belum terlalu dalam kala mengeksplor tetek bengek fashion, malahan ada kalanya terlalu bertumpu pada tuturan verbal sehingga terkesan cerewet, namun di tengah keseragaman tema perfilman Indonesia, apa yang Outfit of the Designer tampilkan di paruh awalnya telah cukup menyegarkan.

Bagaimana dengan penyutradaraan perdana Dimas Anggara? Dibantu tata kamera garapan Faozan Rizal, Dimas membentuk gambar-gambar cantik yang menangkap nuansa khas Eropa, dengan gaya arsitektur yang senantiasa menonjol “elegan” di mata masyarakat Indonesia. Nasehat Dimas di departemen visual tak mengecewakan, namun lain cerita jikalau mendiskusikan tata audio.

Pemakaian lagu C.H.R.I.S.Y.E. demikian menonjol di sini, yang patut diakui memang pas mengiringi keseharian karakternya. Melainkan rasanya tak perlu diperdengarkan sampai tiga kali. Itu lagu alhasil berubah, opsi malahan jatuh ke Separuh Saya milik Noah yang kecocokannya patut dipertanyakan. Bukankah lebih baik memaksimalkan isian musik Andi Rianto?

Menjelang sejam terakhir, fokus bergeser sepenuhnya ke asmara, yang membuat Outfit of the Designer kehilangan kesegaran. Lalu dikala Aksa (Derby Romero) datang sebagai pesaing cinta Bagas, alurnya terjerumus ke pola penceritaan ala sinetron, di mana sang protagonis mendadak mengalami penderitaan demi penderitaan tanpa akhir, yang makin lama makin dipaksakan, dan tentunya, secara bertahap melucuti kwalitas filmnya.

Penurunan kwalitas Outfit of the Designer di satu jam terakhir merupakan sesuatu yang patut diperhatikan dengan mata kepala sendiri untuk dapat diandalkan. Entah apa yang ada di kepala para penulis sampai meruntuhkan pondasi solid yang telah dibangun. Apakah mereka terlalu banyak menonton telenovela dengan segala nasib buruk si tokoh utama wanita?

Itu 107 menit durasinya berakhir, saya malahan bertanya-tanya, “Apa yang sesungguhnya berkeinginan film ini sampaikan?”. Apakah soal ilustrasi kehidupan mahasiswa fashion di Birmingham? Pesan empowerment mengenai kewajiban wanita untuk lantas keluar dari relasi toxic? Kritik perihal kerusakan lingkungan (yang malahan terasa sebaliknya karena Bagas alhasil mendapatkan identitas orang tua Nare)? Saya keder, dan mungkin saja para penulisnya malahan demikian.

Answer Question